Maafkan Aku Ya Rasulullah...

Khusus padamu duhai Muhammad terkasih. Sudikah kau dengar ceritaku, semua jenis umatmu, dengan berbagai karakter dan berbagai kualitasnya.aku ingin mengeluh kepadamu. Inginku ceritakan kepadamu keadaanku yang pilu. Sejak lahir aku telah diislamkan. Telah lama ku Tuhankan Allah, pencipta dan penguasa semua yang ada. Ku Nabikan engkau. Ku baca dan ku sucikan Al- qur’an. Ku kiblatkan Baitullah. Dan ku imani hari akhir. Namun, agaknya kian hari aku kiat jauh dari Tuhan. Kian tak mengenalmu, bahkan nyaris melupakanmu.

Kunabikan engkau, namun yang ku idolakan adalah musuh-musuhmu. Yang kukagumi adalah mereka yang bukan selayaknya. Yang kutiru ialah mereka yang dengan tegas dan bangga menyatakan kehewanannya. Yang ku banggakan adalah mereka yang berpikiran pendek, yang hanya mampu melihat kehidupan sebatas dunia-materi dan benda yang terlihat oleh mata. Aku mensosialisasikannya, mendukungnya dengan bangga. Padahal itu tak pernah kulakukan kepadamu dan untukmu.

Yang kulihat dan ku tonton setiap hari adalah sensualitas, aurat, dan kebendaan yang kian mengeraskan jiwaku. Yang kubaca setiap waktu ialah tulisan yang kian membutakan mata batinku. Yang kudengar kapan pun adalah obrolan dan berita yang kian menulikan telinga jiwaku, menenggelamkan kesadaranku tentang hari pembalasan. Yang kupikirkan ialah hal-hal yang semakin menghijab cahaya Tuhan dari hatiku. Yang kusimak adalah hal-hal yang semakin memerosokkanku dalam kenistaan. Yang dilakukanku setiap detik adalah apa saja yang kian memadamkan iman dari qolbuku. Semuanya berkisar perut dan nafsu. Seakan hanya dua hal itu yang menjadi tujuan akhir hidupku. Duhai hina nian keadaanku…

Penampilan dan gaya hidupku adalah gaya orang yang tak pernah sadar bahwa hidup ini akan diakhiri kematian. Lingkungan dan pergaulanku telah rusak. Mereka bersikap masa bodoh terhadap http://id.wikipedia.org/wiki/Moral dan insaniah. Bahkan mereka sangat pemisif dan menganjurkan beberapa perilaku hina. Hidup kotor menjadi trend dan budaya. Sementara hidup suci telah asing dan aneh di tengah-tengah masyarakatku. Jika ada sepasang manusia berbuat nista, bahkan didepan umum, tak satupun dariku yang melarang mereka, karena merekalah “penguasa budaya.” Awalnya aku terpengaruh, menjadi korban pergaulan dan lingkungan. Tapi kini aku malah jadi penyebar, propagandis bagi paham dan hidup hedonis.

Banyak orang baik yang aku jerumuskan dalam lumpur kehidupan, kurusak kepribadiannya, ku cemari moralitasnya, ku kotori gaya hidup dan penampilannya, kuperdaya keluguannya, kurusak kehormatannya lalu ku benamkan dalam kubang hidup yang pelik, yang membuatnya sulit untuk menjadi baik, hidup suci. Tak jarang ku perangkap orang-orang baik dengan tuduhan sok suci, kujatuhkan mentalnya. Tujuanku adalah agar mereka mengikuti selera rendahku, meniru gaya dan cara pandang hidupku, mau melakukan apa yang diinginkan oleh nafsu babi dan anjing yang menguasai ruhku.

Cap sok suci memang terbukti ampuh merusak orang-orang baik menjadi nista penuh sesal. Terutama ditunjukan kepada orang-orang yang berkpribadian lemah, bermental rendah, hidup tanpa prinsip, dan IQ pas-pasan. Padahal mestinya mereka tahu perbedaan antara sok suci dan belajar hidup suci. Merasa diri suci, paling benar, paling baik, memang tercela. Tapi belajar menjadi baik dan suci adalah keharusan. Sebab, secara fitrah manusia memang bernaluri pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Dan itu harus menjadi prinsip, serta harus ada proses belajar sepanjang hidup selamanya.

Tapi begitulah mereka. Jika mereka cerdas dan berkepribadian kuat, seharusnya mereka balik menjawab dan menjatuhkan mental lawan bicara, bahwa “dalam proses belajar menjadi manusia sok suci jauh lebih baik dari pada sok lacur dan sok kotor kayak kamu.” Jika mental mereka dijatuhkan, seharusnya mereka balik menjatuhkan mental orang yang hendak berbuat keji. Sayang, mereka memang bodoh.

Kunabikan engkau, tapi kucampakan jauh-jauh ajaranmu. Aku shalat, namun prilakuku tak mencerminkan keanggunan dan kedasyatannya. Aku puasa, namun ku biarkan nafsu birahiku menyala-nyala mencari mangsa. Ku baca Al-qur’an, tapi lidahku berbicara kotor dan nista. Aku zakat, tp kurasa itu tak membersihkan hartaku apalagi memberdayakan sesama. Aku fasih beruluk salam, tapi salamku hambar dan basa-basi, bukan karena kesadaran Islamku.

Ada juga sebenarnya aku ingin segera menikah. Namun orang tuaku mencegah dengan alasan aku belum bekerja, masih sekolah dan lain-lain. Padahal seharusnya mereka mengutamakan kesucian dan kemuliaan di atas segalanya. Mengapa mereka tidak mencemaskan kesiucianku? Padahal mereka tahu jika aku sering berpergian dan berhubungan dengan lawan jenis.

Dan zaman ini kebanyakan orang yang berhubungan seperti itu sudah tak ada bedanya dengan suami istri. Aku dibiarkan oleh orangtuaku dan lingkungan untuk mendekati zina. Bahkan teman-temanku banyak yang melakukan zina. Di situ aku melakukan dua dosa besar.

Agaknya tak ada lagi yang tersisa dari keislamanku selain karena aku sedang belajar di lembaga berlabel islam, atau karena hidup ditengah lingkungan yang mayoritas muslim, atau di sebuah kawasan yang masih terdengar suara adzan sayup-sayup lenyap. Andai aku hidup di negara atheist, tak bertuhan dan negeri yang tak mengenal akhirat, mungkin sempurnalah kesamaanku dengan mereka, bahkan bisa lebih. Menurut sebagian orang hal yang kulakukan sudah lebih barat ditimbang orang baratnya sendiri. Lebih atheist dari orang atheist sendiri. Ku ingin hidup bebas tanpa aturan, meski aku tak mau hidup dihutan. Aku enggan menjadi manusia tp enggan disebut hewan.

Itulah ya Rasul, kekasih Sang Maha Pengasih. Masih banyak kenorakan naif yang aku lakukan. Engkau sendiri lebih tahu keadaanku, semua umatmu ini. Meski telah lima belas abad kau tinggalkan dunia, namun kau tetap hidup. Karena ruh tak terbatas, maka dengan izin dan rahmat-Nya, ruhmu menjadi saksi atas smua keburukanku. Kau melihatku, meski sering tak kusadari dan kurasakan kehadiranmu disekitarku.

Duhai Nabi yang sangat lembut dan penyayang. Duhai nabi yang mudah meneteskan air mata melihat derita umatmu semasa hidup. Melihat semua kedunguanku, kekurangajaran dan keangkuhanku, masih mau kah kau memberikan syafaatmu? Masih layakkah aku mengaku sebagai umatmu? Padahal sudah kuhempaskan semua ajaranmu. Bahkan sekedar hari kelahiranmupun kebanyakan aku sudah lupa dan tak peduli.

Masihkah kau mau membelai rambutku, sebagai mana kau membelai rambut anak-anak sahabatmu. Masihkan kau mau menatapku, sebagaimana tatapan teduhmu kepada seorang badui yang bertanya kepadamu tentang hari kiamat tiba, dengan bermodalkan kecintaannya padamu. Masihkah kau mau mengakuiku sebagai umatmu, bagian dari keluarga besar kafilah ruhanimu? Masihkah kau percaya bahwa hatiku masih menyimpan setitik cinta kepadamu, bahwa engkau kekasihku, meski belum kulakukan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pencinta terhadap kekasihnya.

Maafkan daku ya Rasul… sebenarnya malu kukatakan semua ini padamu. Tapi jika aku tak lagi dibolehkan mengucapkan cinta untukmu, atau sekedar bercerita atau sekedar merangkai kata, untuk mengingatmu, maka tegakah kau biarkan aku tak menyisakan setitik keislamanku, kemanusiaanku, keimanan dan kesadaranku, juga ingatku padamu.

Ya Rasul jika aku semua ini tulus menghadapkan hatiku padamu, maka engkau pasti mendengarku. Engkau melihatku. Sebab itu, khudz biyadi. Ulurkanlah tanganmu, gapailah jemariku, pandanglah wajah legamku dan angkatlah daku dari kebohongan dan ketertipuan ini. Songsong aku ketika kutemui Tuhamu, Tuhanku. Tak ada yang membuatku berani berkata begini selain masih kurasakan sedetik cinta untukmu.

Duhai Rasul kekasih sepanjang waktu… maafkan aku yang sering melalaikan dan merusakmu. Ampuni aku yang sering bangga mengamalkan kekufuran, namun minder mengamalkan kebaikan dan kebenaran. Pandanglah daku dengan pandangan teduhmu, walau dengan sekejap matamu. Tataplah daku seperti kau tatap anak-anak sahabatmu. Ulurkan kepadaku tangan syafaatmu. Entaskan daku dari ketenggalaman hati dan keterjerumusan diri. Ashshalatu wassalamu ‘alaika ya Rasulallah. Shalawat dan salam untukmu, ya Rasulullah. Isyfa’ lana indallah, yawma la zhilla illa zhillullah. Berikan aku syafaatmu disisi Allah Swt. Pada hari ketika tiada tempat bernaung selain pernaungan-Nya.

Duhai manusia terlembut dan paling pemaaf. Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan. Maafkan aku, duhai kekasih semesta. Maafkan aku muhammadku. Engkau terlalu agung untuk tak memaafkan aku. Semua jenis umatmu ini. Tetaplah kau bersaksi atas keislamanku hingga nafas terakhirku. Dorong aku untuk selalu menitijalan risalahmu. Dan jemput aku di pintu surga yang telah dijanjikan untukmu….

1 comments:

  1. nabi dan rasul-mu sudah mati ribuan tahun yang lalu tanpa sempat menuliskan sendiri kitab yang dibawa-nya atau menunjuk sistem pergantian kepemimpinan yang baik.

    Sayang sekali kamulebih memilih kontradiksi kepercayaan buta antara idealisme dan negativisme; dari pada menjadi dirimu yang sebenarnya apa adanya.

    kasihan dirimu

    BalasHapus

Silahkan berikan Saran dan Kritiknya, untuk kemajuan blog dan kenyamanan bersama.