Pesona Agung Maulana Edhi (Kisah Nyata Sang Figur Keikhlasan) Part 2


Kisah Agung Maulana Edhi part 2 ini adalah kelanjutan dari yang sebelumnya. Pada 26 September 1992, Edhi mengunjungi kamp-kamp pengungsian di Nagyatad, di perbatasan Hongaria-Kroasia. Pada saat yang sama Edhi mengirimkan bantuan Magodishu. Semuanya dilakukan ketika tanah kelahirannya sedang dilanda banjir besar. Ketika Afganistan dibombardir oleh kebiadaban AS pimpinan George W. Bush Nopember 2001 yang lalu. Kemanusiaannya benar-benar melintasi berbagai negara dan bahasa. Ia sigap menolong yang dekat, juga sibuk menolong yang jauh. 
 
Sekarang, Edhi telah lanjut usia. Namun langkahnya tetap tegap dan mantap. Ia juga tetap tegas untuk tidak menerima sumbangan dari pemerintah mana pun. Karena, ia ingin menghindari tekanan dan permainan politik penguasa, yang akan mempengaruhi keikhlasan dan penyebaran kebaikannya. Ia bangun yayasannya dari sumbangan tulus umat Islam. Dan ia berjuang keras untuk mengembangkan dana dan menyalurkannya kepada yang berhak. Pendiriannya tetap kokoh, setangguh batu karang dilautan. Dan kebaikannya tetap menyebar selebar dunia yang bisa ia pandang.
Namun, dalam kedasyatan pesona kebaikannya, ia sangat menakuti dua hal, yakni takabur dan riya. Saat mengumpulkan dana di Toronto, ia selalu berdoa agar diselamatkan dari dua penyajit hati ini. Karenyanya ia tak berharap penghargaan jenis apapun dari sesamanya.

Dan kenyataannya hingga kini ia tidak pernah mendapatkan penghargaan atau hadiah Nobel seperti Suster Theressa. Bahkan namanyapun tak pernah terdengar oleh masyarakat dunia. Disini kita sendiri masihasing mendengar namanya. Kiprahnya tidak pernah di ekspos oleh media massa internasional, tidak seperti Theressa. Apalagi Lady Diana atau Michael Jackson yang tak pernah lepas dari publisitas. Setitik kebaikan yang mereka lakukan, seperti melakukan kampanye anti AIDS yang hanya sekali atau dua kali itu, selalu di ekspor luar biasa dan dramatisoleh pers dunia. Sementara kekurangannya selalu dilihat secara posotif menurut standar mereka.

Padahal, baik secara kuantitas maupun kualitas, Maulana Edhi jelas bukan tandingan mereka. Ketulusan, Keberanian, Perjuangan, Mentalitas, Loyalitas, Pengabdian, Tingkat Kesulitan, penyebaran kebaikannya yang melintasi berbagai negara dan bahasa, serta menejemen pengelolaannyayang sangat baik dan rapi, Edhi jelas sangat jauh lebih baik dari mereka.

Pada pertengahan dekade 1990-an, seorang politisi oportunis yang kini menjadi Menteri Luar Negeri sebuah negara yang baru merdeka, yang jauh sebelumnya selalu sibuk menjual penderitaan bangsanya kepada bangsa barat, suka berfoya-foya dan berpesta pora dari satu hotel berbintang ke hotel berbintang lainnya di luar negeri, justru dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Dan kini, seorang pemimpin negara yang ekstrem, fundamentalis, sok benar sendiri, takabur, paranoid dan maniak perang, yang telah membantai puluhan ribu dan menyengsarakan jutaan warga dunia, justru disebut-sebut sebagai seorang demokrat dan perdamain dunia.

Ah… Apakah kerena Edhi seorang muslim, sehingga tidak layak dipandang sebagai malaikat dalam derita umat dunia yang tengah dirundung petaka? Apakah karena ia hamba yang mengEsakan Tuhan, sehingga kebaikannya tidak boleh dan dikenang dunia?  Entahlah. Yang jelas, apalagi sekarang, media masa dunia terus mendesakkan opini bahwa umat islam adalah teroris, pengacau dan pembuat onar. Sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh umat islam akan diekspos besar-besaran, hingga publik dunia harus menyematkan cap teroris kepada umat islam sebagai agama teror.

Sementara pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa negara yang didukung oleh persenjataan berat, perencanaan matang dan strategi militer yang super canggih justru dianggap sebagai perjuangan menumpas onar terorisme. Bahkan PBB pun tak berdaya untuk menolak ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap kemanusiaan ini. 

Terserahlah! Memang dalam kondisi kita yang lemah ini, apa pedulinanya kita dengan penilaian masyarakat dunia? Lagi pula, toh Maulana Edhi sendiri tidak membutuhkan penghargaan dengan jenis apapun, bahkan sekadar liputan, publisitas apalagi ketenaran. Ia hanya membutuhkan senyum kebahagiaan dari orang-orang yang telah terlepas dari sebagian deritanya. Saat ditanya mengapa ia berpayah-payah dengan pertanyaannya selama ini, ia hanya menjawab, ”Kuinginkan mereka tersenyum. Kuingin senyuman dari orang-orang yang telah terbebas dari sebagian kecil penderitaannya.” Subhanallah.  Agaknya justru sikap inilah yang merupakan anugerah terbesar dan energi superdasyat yang Allah Swt berikan kepada hamba-Nya yang tulus ini. Jazakallah, Tuan Edhi! Semoga Allah Swt menganugerahimu karunia-Nya yang berlipat dan melimpah.
Mudah-Mudahan cerita nyata perjalanan hidup Maulana Edhi ini dapat memberikan kita motivasi untuk menjalankan hidup lebih baik dan dapat menolong orang lain tanpa meminta imbalan sedikitpun. Dalam artian Ikhlas dalam memberikan pertolongan.

3 comments:

  1. Dudi Oke: Nuhun...!

    SEO | Blackhat | Computer Tips-Tricks: Salam kenal oge, sesama orang keturunan Tasikmalaya harus saling kenal.

    BalasHapus

Silahkan berikan Saran dan Kritiknya, untuk kemajuan blog dan kenyamanan bersama.