Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah, sebenarnya telah berjalan secara pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia.
Seruan Hisbutahrir Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu.
Kaum Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis.
Media massa dan elite Muslim yang duduk di pemerintahan tengah ‘haus’ akan keislaman yang otentik (bahkan ironisnya cenderung ke arah konsuptivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui atau tidak ‘perasaan’ kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini dikarenakan Islam yang tidak tunggal, itu hanya mengulang-ulang kembali perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957.
Bahkan kaum nasionalispun sepertinya terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat.
Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila?
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya.
Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi,). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI.
Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara.
Hubungan Pancasila Dengan Agama Islam. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaa untuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957.
Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan Saran dan Kritiknya, untuk kemajuan blog dan kenyamanan bersama.