Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Swt, Rabb semesta alam. Tidak ada daya dan upaya selain dari Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia Nya dalam mengarungi kehidupan ini.
Salawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman di manapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Nyalah, sehingga makalah ini dapat saya selesaikan. Makalah ini kami beri judul “Faktor-faktor pembukuan Hadist”.
Dalam makalah dijelaskan tentang definisi dan periodesasi Pembukuan Hadist serta penjelasan tentang faktor-faktornya. Dengan penjelasan dalam makalah ini diharapkan kepada para pembaca lebih memahami tentang Ilmu Hadist dan supaya dapat menjadi nilai tambah dalam mempelajari Islam.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan gambaran tentang materi yang harus selesaikan dan juga semua pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini.
Terakhir, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini lebih sempurna pada masa yang akan datang.
A. PENGERTIAN HADIST
Sunnah dan hadits adalah satu pengertian. Yang dimaksud dengan sunnah adalah seluruh apa yang datang dari Rasul saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun diamnya Rasul. Termasuk kedalam sunnah hadits-hadits mauquf yang datang dari para sahabat. Mereka hidup bersama-sama Rasulullah saw, mereka mendengar dan menyaksikan sendiri gerak gerik beliau, kemudian mereka berbicara berdasarkan apa yang telah mereka lihat ataupun apa yang telah mereka dengar.
Hadits dianggap sebagai nash syara’ karena Allah Swt berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (TQS. an-Najm[53]:3-4)
Banyak ayat-ayat yang datang secara umum lalu dirinci oleh hadits. Seperti perkara shalat yang ayatnya datang secara umum, maka perbuatan Nabi merupakan perbuatan yang dapat menjelaskan tentang waktu-waktu maupun tata caranya. Begitu pula halnya dengan banyak hukum lain yang datang di dalam al-Quran dalam bentuk global, kemudian Rasul saw datang menafsirkannya.
Allah Swt berfirman:
Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (TQS. an-Nahl [16]: 44)
Para sahabat ra telah mendengar seluruh perkataan Rasulullah saw dan telah melihat seluruh perbuatan dan keadaan beliau. Apabila mereka sulit memahami ayat atau mereka berselisih dalam penaf-sirannya atau berbeda pendapat tentang suatu hukum maka mereka kembali kepada hadits-hadits Nabi untuk mencari penjelasannya.
Oleh karena itu maka sandaran kaum Muslim yang pertama sekali adalah berdasarkan kekuatan hafalan di dalam hati tanpa melihat pada apa yang telah mereka tulis, demi menjaga ilmu ini (hadits), seperti halnya penjagaan mereka terhadap kitabullah. Ketika Islam telah tersebar dan wilayah-wilayah Islam semakin luas serta para sahabat berpencar di berbagai negeri sementara kebanyakan mereka telah wafat, disamping sedikitnya orang yang kuat hafalannya, maka amat mendesak kebutuhan untuk melakukan pembukuan hadits-hadits yang diperkuat dengan tulisan.
Pembukuan hadits-hadits kembali kepada masa para sahabat. Diantara mereka ada sejumlah orang yang menulis dan mengungkap hadits-hadits yang pernah ditulis. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, ‘Tidak ada seorangpun diantara para sahabat Nabi saw yang lebih banyak haditsnya dari pada aku, kecuali apa yang ada pada Abdullah bin Umar. Sesungguhnya dia telah menulis, sedangkan aku tidak menulis.’
Akan tetapi sahabat yang menuliskan hadits sangat jarang sekali dan jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan para sahabat menghafalkan hadits-hadits di dalam dada mereka karena mereka dilarang menuliskan hadits pada masa awal-awal Islam. Imam Muslim telah mengeluarkan dalam kitab hadits shahihnya, dari Abu Said al-Khudri bahwa ia berkata,
Rasulullah saw bersabda:
Jangan kalian tulis dariku. Barangsiapa menulis sesuatu dariku selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Dan bicarakanlah oleh kalian tentang aku, maka hal yang demikian tidak apa-apa.
Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di neraka.
Oleh karena itu para sahabat menghindarkan diri menulis hadits. Mereka cukup dengan menghafal dan memahaminya. Para sahabat sangat memperhatikan sekali pengetahuannya tentang hadits. Telah terbukti bahwa kebanyakan dari sahabat menerima sebagian besar periwayatan (ikhbar).
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dari Qubaishah bahwa seorang nenek telah datang menghadap Abu Bakar ra, dia berharap mendapatkan harta warisan, maka Abu Bakar berkata: ‘Aku tidak mene-mukan sesuatu untukmu (permasalahanmu) dalam kitabullah, dan aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw pernah menyebutkan sesuatu untukmu’.
Kemudian Abu Bakar bertanya kepada yang lain sehingga al-Mughirah berdiri lalu berkata: ‘Adalah Rasulullah saw memberikannya seperenam’. Lalu Abu Bakar berkata: ‘Adakah seseorang bersamamu? Ternyata (hal itu) telah disaksikan oleh Muhammad bin Maslamah. Kemudian Abu Bakar memutuskan untuknya bagian (waris) seperenam.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan ra muncul fitnah. Kaum Muslim berselisih hingga mereka terpecah menjadi beberapa kelompok. Seluruh kelompok yang ada mengarahkan pandangannya untuk melakukan istinbat terhadap dalil–dalil dan mengeluarkan hadits-hadits untuk mendukung propaganda mereka. Sebagian dari mereka jika kesulitan memperoleh hadits yang mendukung propaganda mereka melalui perkataan atau hujjah, maka mereka membuat hadits -dari kalangan mereka sendiri sehingga pada saat kekacauan terjadi banyak sekali hadits-hadits.
Ketika fitnah mereda kaum Muslim melakukan tahqiq (pemeriksaan fakta) dan banyak ditemukan hadits-hadits maudhu’at (palsu). Mereka lalu bekerja keras untuk memisahkan antara hadits-hadits palsu dengan hadits-hadits shahih.
Para imam (ahli) hadits tatkala merancang pembukuan hadits, membukukannya berdasarkan bentuk yang telah mereka dapatkan. Biasanya mereka tidak menggugurkan hadits yang sampai kepada mereka kecuali hadits yang sudah diketahui kepalsuannya. Mereka mengumpulkannya dengan sanad-sanad yang telah mereka temui.
Mereka membahas dan menyeleksi tentang keadaan para perawinya dengan seleksi yang amat ketat, hingga mereka mengetahui siapa yang bisa diterima periwayatannya dan siapa yang ditolak periwayatannya, serta mana saja orang yang masih dalam tahap seleksi. Setelah itu mereka membahas tentang matan (isi hadits) dan periwayatannya. Apa yang diriwayatkan oleh orang yang bersifat adil dan dlabit (kuat hafalannya) diambil. Kadang-kadang terdapat padanya kelalaian dan kekeliruan.
Hadits adalah topik yang amat luas, mencakup seluruh pengetahuan Islam. Di dalamnya mencakup tafsir, tasyri’ dan sirah. Kadangkala perawi hadits meriwayatkan sebuah hadits yang didalamnya terdapat tafsir terhadap suatu ayat didalam al-Quran. Kadang meriwayatkan hadits yang didalamnya terdapat hukum pada suatu peristiwa. Kadang juga suatu hadits menceritakan suatu peperangan. Begitulah seterusnya. Ketika kaum Muslim mulai mengumpulkan hadits, terjadilah kodifikasi hadits.
Hadits-hadits pun disusun di berbagai kota. Pengumpulan hadits dipisahkan antara hadits Rasul dengan perkara-perkara lainnya. Dengan demikian terpisahlah hadits dari fiqih sebagaimana hadits juga terpisah dari tafsir. Itu terjadi pada awal tahun dua ratusan setelah aktivitas (gerakan) pengumpulan hadits. Sejak itu dapat dibedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dha’if. Disamping itu juga dijelaskan para perawinya dan menetapkan apakah mereka dapat diterima (periwayatannya) atau ditolak.
Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadist | Makalah Ilmu Hadits
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits, Maka pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.
A. PENULISAN HADIST
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.
Artinya:
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut.
Rasulullah kemudian bersabda:
Artinya:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran.
Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya
B. PENGHAPALAN HADIST
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka.
Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis.
Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
- Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
- Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
- Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
- Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
- Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
- Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
C. PENGHIMPUNAN HADIST
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya.
Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya.
Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. ”
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW.
Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik, AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
D. TIMBULNYA PEMALSUAN HADIST DAN UPAYA PENYELAMATANNYA
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.
Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
- Orang yang kurang akal.
- Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
- Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
- Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka.
Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
- Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
- Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
- Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu.
Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW, seperti hadis:
Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. ”
Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. ”
Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
“Anak zina itu tidak akan masuk surga. ”
Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18 )
Pada saat itu hadits tertolak karena bertentangan dengan al-Quran yang bersifat qath’i tsubut dan qath’i dilalah. Hadits, apabila tidak bertentangan dengan al-Quran dan (hadits) mencakup perkara yang tidak terdapat di dalam al-Quran atau terdapat tambahan dari apa yang ada di dalam al-Quran, maka (harus) diterima keduanya, baik al-Quran maupun hadits.
Jadi, kita tidak bisa mengatakan, cukup berpegang dengan al-Quran saja dan dengan apa yang ada pada al-Quran. Sebab, Allah Swt memerintahkan untuk berpegang kepada keduanya (al-Quran dan hadits) sekaligus. Meyakini keduanya hukumnya wajib.
E.ULAMA-ULAMA ILMU HADIST
Imam Bukhârî
Nama lengkap beliau ialah Abu Abdullâh Muhamad bin Isma’îl bin Ibrâhîm bin Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhârî. Beliau dilahirkan pada hari jum’at, 13 syawal 194 H./1810 M. di Bukhârâ. Ayahnya Isma’îl bin Ibrâhîm al-Ju’fî tanpaknya cendrung kepada hadits nabawi. Ketika pergi haji pada tahun 179 H. beliau menyempatkan diri menemui tokoh-tokoh ahli hadits seperti Imam Malik bin Anas, Abdullâh bin Mubârak, Abu Muawiyyah bin Shâleh dan yang lainnya.
Ternyata semangat dan kecendrungan ini diwariskan kepada putranya Muhamad. Ketika Muhamad masih kecil, ayahnya Isma’îl meninggal dunia, dan meninggalkan perpustakaan pribadi yang diperuntukkan khusus buat putranya tercinta Isma’îl. Dalam keadaan yatim ia diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih sayang, dibimbingnya untuk selalu mencintai buku-buku peninggalan ayahnya. Bersama teman-teman sebayanya Muhamad mulai belajar membaca, menulis, belajar al-Qur’an dan hadits.
Ketabahan ibu yang shalehah ini akhirnya mulai membuahkan hasil, ketika pada umur 10 tahun Muhamad muncul sebagai anak yang berilian otaknya mengalahkan anak-anak sebayanya, dan pada umur 10 tahun itulah Muhamad mulai mempelajari dan menghapal hadits. Ketika berumur 11 tahun perpustakaan ayahnya sudah tidak memenuhi syarat lagi baginya. Cita-cita untuk mendalami hadits semakin menggebu-gebu. Akhirnya Muhamad kecil menemui tokoh-tokoh ahli hadits di tanah airnya untuk mempelajari hadits.
Melihat kehebatan Muhamad ini, para gurunya juga tidak urung menemuinya. Betapa tidak, pada waktu berumur 16 tahun Muhamad sudah hapal kitab-kitab hadits yang ditulis oleh abdullâh bin Mubârak dan Waki’, dua tokoh ahli hadits yang terkemuka pada masa itu.
Cita-cita Muhamad tidak berhenti sampai disitu, dengan bimbingan ibundanya pada tahun 216 H., Muhamad di ajak pergi ke Makkah disertai kakaknya Ahmad. Sesudah menunaikan ibadah haji, ibunya bersama Ahmad pulang kembali ke Bukhârâ, sedang Muhamad mendalami hadits dari tokoh-tokoh ahli hadits, seperti, al-Walid al-Azraqî dan Isma’îl bin Salim al-Saigh, kemudian pergi ke Madinah untuk mempelajari hadits dari anak cucu sahabat Nabi Saw. satu tahun Muhamad tinggal di Madinah, ia juga sempat menulis dua buah buku di sana, yaitu: “Qadhâyâ ash-Shahâbah wa at-Tabi’în” dan “Tarîkh al-Kabîr”.
Muhamad ternyata bukanlah santri yang pasif, yang hanya mampu menerima dan menghapal pelajaran saja. Muhamad adalah santri yan produktif, sembari belajar, ia menulis buku. Maka tersebutlah karya tulisnya di samping dua kitab tersebut di atas, sebagai berikut: al-Tarîkh al-Shagîr, al-Tarîkh al-Awsath, al-Dhuafâ, al-Kunâ, al-Adab al-Mufrâd, al-Jâmi’ al-Shahîh (shahih bukhari), Raf’ul Yadain fî al-Shalâh, al-Wuhdan, Khair Kalâm fî al-Qira’ah khalf al-Imâm, al-Asyrifah, Asami al-Shahâbah, Bir al-Wâlidain, Khalq Af’al al-’Ibâd, al-Ujlah fî al-Hadîts, al-Musnad al-Kabîr, al-Mabsut, al-Inbah.
Maka setelah berumur 62 tahun, anak yatim yang kemudian termasyhur sebagai ahli hadits nomor satu. Dan setelah kembali menentap di Bukhârâ, pergi ke desa Khartank di kawasan Samarqand untuk menjenguk familinya yang bernama Ghalib bin Jibril. Beberapa hari muhamad tinggal di sana sampai akhirnya sakit dan wafat pada hari sabtu, malam ‘idul fitri 1 syawal 256 H./870 M.
Motivasi Penulisan Shahih al Bukhari | Makalah Ilmu Hadits
Meski sudah termasuk luar biasa dalam bidang hadits dan ilmu hadits, tampaknya Imam Bukhârî tidak begitu saja membukukan hadits-hadits nabawi. Ada beberapa faktor yang mendorong untuk menulis kitab itu, yang menunjuknya bahwa penulisnya tidak mau berangkat dari kemauannya sendiri. Karenanya wajar apabila keikhlasan beliau menjadikan kitabnya sebagai rujukan yang paling otientik sesudah al-Qur’an.
Sementara faktor-faktor itu ialah:
Pertama, pada masa akhir Tabi’în, dimana para Ulama sudah menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam, hadits-hadits Nabi mulai dibukukan. Tersebutlah orang-orang yang membukukan, antara lain: al-Râbi’ bin Shâlih (w. 160 H), Sa’id bin Abu ‘Arabah (W. 156 H) dan yang lainnya.
Metode penulisan mereka terbatas pada bab-bab yang menyangkut masalah-masalah tertentu saja. Kemudian datanglah Ulama priode berikutnya, dimana mereka menulis lebeih lengkap dari pada cara penulisan sebelumnya. Mereka menulis hadits-hadits yang menyangkut masalah-masalah hukumnya secara luas. Tersebutlah nama-nama seperti Imam Malik bin Anas dengan kitabnya al-Muwaththa di Madinah, Ibn Juraij di Makkah, al-Auzai’ di Bashrah. Hanya saja tulisan-tulisan mereka masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tabi’în dan atbau-t’tabi’în.
Pada awal abad ke II, para ulama bermaksud menulis hadits secara tersendiri tanpa dicampuri fatwa sahabat dan tabi’în. Maka tersebutlah penulis-penulis seperti Ubaidillah al-Kuffi, Musaddad al-Bashri, Asad al-Umawi dan Nua’im al-Khunzai. Metode penulisan mereka berbentuk musnad, dimana disebutkan dahulu nama sahabat kemudian hadits-hadits yang diriwayatkannya. Metode ini diikuti oleh tokoh-tokoh sesudahnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Utsman bin Abu Syaibah dan yang lainnya.
Adapula yang menggabungkan antara metode bab-bab dan metode musnad seperti yang dilakukan Abu bakar bin asy-Syaibah. Namun hadits-hadits yang mereka tulis masih campur aduk antara hadits-hadits yang shahîh, hasan dan dha’îf. Dari sinilah kemudian Imam Bukhârî punya inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits yang shahih saja, sehingga tidak membingungkan orang.
Ternyata Ishaq bin Rawaihah seorang guru Imam Bukhârî mendorong maksud ini, sebagaimana dituturkan oleh Bukhârî: “ketika saya berada di kediaman Ishaq bin Rawaihah, ia menyarankan agar saya menulis kitab yang singkat, yang hanya memuat hadits-hadits shahih saja. Saran beliau itu sangat mendorong saya hingga kemudian saya menulis al-Jâmi’ ash-Shahîh”.
Kedua, Dorongan moral yang seperti beliau tuturkan sendiri sebagai berikut : “saya bermimpi bertemu Nabi Muhamad Saw. Saya berdiri dihadapan Nabi seraya menyapa saya. Setelah itu, saya menemui ahli-ahli ta’bir mimpi untuk menanyakan arti mimpi itu. Jawabnya “anda akan membersihkan pembohong-pembohong yang dilontarkan kepada Rasulullah Saw” itulah yang mendorong saya untuk menulis al-Jâmi’ al-Shahîh”.
Dengan demikian Imam Bukhari sangat termotivasi untuk membukukan hadist karena pada masa itu telah banyak orang yang meriwayatkan hadist palsu dan dilakukan secara sewenang-wenang.
Ibn Shâlah dan Imam Nawawî yang pertama kali menuturkan pendapatnya bahwa para ulama telah sepakat kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim di terima sebagai kitab yang otentik sesudah al-Qur’an. Namun, ada perbedaan pendapat, mana yang lebih otentik di antara dua kitab tersebut? Sejumlah ahli hadits dari Maroko berpendapat bahwa Shahîh Muslim lebih unggul dari Shahîh al-Bukhârî, sedangkan Jumhur Ulama berpendapat bahwa Shahîh al-Bukhârî lebih otentik dari Shahîh Muslim.
Pendapat ini dikarenakan pembukuan “Shahih Muslim” terjadi setelah pembukuan “Shahih Bukhari”. Dan juga metode pengambilan hadist berbeda antara Imam Bukhari dengan Imam Muslim. Namun semua hal yang telah dilakukan oleh ulama adalah untuk menjaga keaslian dan keotentikan dari hadist-hadist Rasulullah Saw.
Daftar Pustaka
T. Muhammad As Siddiqy, “sejarah dan pengantar ilmu hadist” Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Dr. Mustafa Assiba’i, “Al Hadist sebagai sumber hukum(kedudukan As Sunnah dalam pembinaan hukum Islam)”, penerbit cv.Diponegoro Bandung.
Muhammad ajar al khatib,”ushul al Hadist, ulumul wal mustalah” penerbit Daral Fikri, Beirut.
An Nabhani Taqiyyuddin, “Asy Syakhshiyah Islamiyah” Jilid I/253, Beirut 1953 penerbit PTI (Pustaka Thoriqul Izzah) Bab tentang Assunah dan Hadits.
Makalah Hadist
Makalah Hadist
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan Saran dan Kritiknya, untuk kemajuan blog dan kenyamanan bersama.